History is the reconstruction of past events in order to clarify contemporary look to the future

Senin, 17 Januari 2011

MASA ORDE BARU

Orde Baru adalah tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia yang diletakkan kembali pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kelahiran Orde Baru ini tidak dapat dipisahkan dari peristiwa G 30 S/PKI dan dikeluarkannya Supersemar 1966. Terbitnya Supersemar merupakan sarana bagi upaya penyelesaian kemelut politik yang menimpa bangsa Indonesia sebagai akibat pemberontakan G 30 S/PKI.
1. Lahirnya Orde Baru
Gerakan 30 September 1965
Gerakan 30 September 1965 untuk sementara memang berhasil membingungkan masyarakat. Namun dengan cepat pemerintah dapat menguasai keadaan. Setelah itu dilakukan upaya pembersihan terhadap oknum-oknum yang terlibat G 30 S/PKI, demikian juga di daerah-daerah. Partai-partai dan organisasi masa yang tergabung dalam Front Pancasila, KAMI, KAPI dan KAPPI bergerak untuk mengadakan aksi pembersihan terhadap semua oknum yang terlibat G 30 S PKI.

Demonstrasi (TRITURA)
Sampai awal Desember operasi militer terhadap pemberontakan dapat dikatakan sudah berakhir tetapi penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum ada tanda-tanda dilaksanakan. Sehingga terjadi krisis politik. Demikian juga bidang ekonomi, keadaannya semakin parah. Kesejahteraannya jauh merosot, antara lain karena laju inflasi yang mencapai 650%. Hal itu semakin parah dengan adanya devaluasi nilai rupiah, kenaikan tarif dan jasa serta kenaikan harga BBM pada 3 Januari 1966.

Masyarakat dengan dipelopori kesatuan-kesatuan aksi meminta agar kenaikan harga ditinjau kembali. Permintaan itu tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Demikian juga dalam menyelesaikan kemelut politik tidak mencerminkan upaya untuk mengatasi gejolak yang timbul. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Pada tanggal 10 Januari 1966 masyarakat dengan dipelopori KAMI dan KAPI menyampaikan tiga tuntutan rakyat (TRITURA) kepada pemerintah yaitu:

a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b. Pembersihan kabinet Dwikora, dengan sasaran jangka panjang berupa pemerintahan yang efisien, kompak,
   dan efektif.
c. Penurunan harga bahan-bahan kebutuhan pokok, dengan konsekuensi jangka panjang rehabilitasi dan
   stabilisasi ekonomi.
Meskipun Tritura sudah diajukan, namun tidak ada tanggapan dari DPR Gotong Royong dan MPRS. Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya masih bertahan di kabinet. Itulah sebabnya kesatuan aksi makin marah dan terjadilah demonstrasi secara besar-besaran untuk menyampaikan amanat penderitaan rakyat. Demonstrasi yang membawakan suara hati nurani rakyat ini juga disebut “DPR Jalanan”.
Demonstrasi jalanan ini merupakan wujud gerakan anti pemerintah. Akan tetapi pemerintah bertahan pada pendiriannya, bahkan membubarkan Kabinet Dwikora dan membentuk kabinet baru. Namun Kabinet yang baru dibentuk, yang merupakan “penyempurnaan” kabinet

lama, justru diisi oleh orang-orang PKI. Kabinet Dwikora yang disempurnakan inilah yang terkenal dengan nama “ Kabinet Seratus Menteri”.
Demonstrasi yang dipimpin oleh KAMI dan KAPPI kemudian berhadapan dengan pasukan pemerintah. Para demonstan terus mendesak sampai ke Istana Merdeka. Pasukan pemerintah yang terdesak berusaha menahan para demonstran dengan tembakan. Dalam peristiwa itu seorang mahasiswa UI yaitu Arif Rakhman Hakim tertembak dan gugur sebagai pahlawan Ampera. Suasana di Ibukota semakin tegang. Hampir setiap hari terjadi demonstrasi untuk mewujudkan Tritura.
Untuk mengantisipasi situasi yang semakin kacau itu maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan sidang Kabinet di Istana Negara. Tujuan sidang ini adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.Sidangini dijaga sangat ketat oleh pasukan kawal istana. Selain itu ternyata di sekeliling istana terlihat ada sekelompok “pasukan liar” yang tidak menggunakan identitas lengkap dari kesatuannya. Para peserta sidang khawatir bila “pasukan liar” ini akan memperkeruh suasana.
Sementara sidang berlangsung, Presiden Soekarno menerima laporan tentang adanya pasukan tak dikenal di sekitar istana. Untuk menghindari segala kemungkinan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II, Dokter Leimena. Presiden kemudian meninggalkan istana menuju Bogor dengan helikopter. Beliau diikuti oleh Waperdam I, Dr. Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh. Waperdam II Dokter Leimena kemudian membubarkan sidang dan menyusul ke Bogor.
Tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Makhmud menghadap Letnan Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad. Setelah membahas masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, maka pada tanggal 11 Maret itu juga tiga orang perwira tinggi tersebut pergi menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ketiga perwira tinggi itu diterima oleh Presiden Soekarno, yang didampingi oleh Waperdam I, II, dan III. Mereka melaporkan kepada Presiden tentang suasana di Jakarta dan kesiapan ABRI untuk mengatasi suasana jika terjadi sesuatu. Namun usaha ini hanya akan berhasil jika presiden memberikan kekuasaan penuh kepada seseorang yang diberi tugas untuk mengatasi situasi.
Adanya laporan tiga perwira di atas, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai pimpinan Kostrad. Surat Perintah inilah yang dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Supersemar ini antara lain berisi instruksi agar Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, ketertiban, dan kestabilan jalannya pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Letnan Jenderal Soeharto selaku pengemban Supersemar segera mengambil kebijaksanaan dan langkah tegas terhadap perkembangan politik yang tidak menentu. Satu demi satu Tritura dipenuhi. Yang pertama dilakukan ialah pembubaran PKI serta ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Kedua adalah pengamanan 15 orang menteri yang berindikasi terlibat G 30 S/PKI atau diragukan i’tikad baiknya dalam memulihkan keamanan. Pengamanan menteri-menteri terjadi pada tanggal 18 Maret 1966. Tritura yang kedua dapat dipenuhi oleh Letnan Jenderal Soeharto. Unsur-unsur dan pengaruh PKI dibersihkan, Anggota PKI dan yang berindikasi

terlibat PKI diberhentikan keanggotaannya dari DPRGR dan MPRS. Jawatan dan kantor-kantor juga dibersihkan dari aparatur yang kena pengaruh komunis.
Monumen Pacasila Sakti
Pemerintah kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan penyimpangan-penyimpangan dari UUD 1945 dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam Sidang Umum IV MPRS tanggal 20 Juni - 5 Juli 1966, dihasilkan ketetapan-ketetapan politik sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pemerintahan ini berlangsung sejak berlakunya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, yang menggantikan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno (1945-1966). Pemerintahan Orde Baru ditandai oleh pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru mempunyai dua landasan, yaitu landasan falsafah dan ideologi Pancasila, dan landasan konstitusional berupa UUD 1945.
Lahirnya Orde Baru berarti dimulainya lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Baik lembaran yang berisi tatanan peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, maupun lembaran yang berisi pembangunan moral dan fisik menuju masyarakat adil dan makmur, dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
2. Stabilisasi dan Rehabilitasi
Tuntutan Tritura yang ketiga yaitu perbaikan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dilakukan dengan pembangunan di segala bidang. Akan tetapi pembangunan hanya dapat berjalan lancar jika negara berada dalam keadaan aman dan tertib. Oleh karena itu sebelum pembangunan nasional dimulai diperlukan dahulu stabilitas nasional.
Program pertama yang dilakukan adalah pembaharuan kabinet. Kabinet untuk menstabilitaskan ekonomi dan keamanan disebut Kabinet Ampera. Dalam masa Kabinet Ampera I & II (1966-1968), Departemen Keuangan mengemban tugas melaksanakan program stabilitas ekonomi dan keuangan negara yang meliputi bidang moneter termasuk didalamnya menjaga stabilitas intern dan ekstern nilai mata uang Indonesia. Untuk mengatasi situasi perekonomian dan keuangan yang sangat buruk serta dalam rangka stabilitas ekonomi, pemerintah menetapkan serangkaian kebijaksanaan, yakni:
a. Penyesuaian pengeluaran negara dengan pendapatan negara, sehinga terdapat keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan (Balance Budget) yang dituangkan dalam Undang-undang APBN No.13 Tahun 1967 tanggal 30 Desember 1967 yang juga menjadi dasar hukum pelaksanaan APBN 1968/1969.
b. Penekanan inflasi dan peningkatan nilai rupiah.
c. Penjadwalan beban pembayaran utang luar negeri warisan masa lampau yang seluruhnya berjumlah US$ 2,4 milyar dan di lain pihak juga berusaha untuk mendapat kredit baru guna membiayai belanja pembangunan.
Selain itu, dalam komperensi “rescheduling” hutang-hutang luar negeri dengan pihak kreditor, dihasilkan persetujuan:
a. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun dari tahun 1970 s.d. 1999.
b. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran dengan jumlah yang sama setiap tahun.

c. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga sedangkan pembayaran kembali bunga pinjaman dilaksanakan dalam 15 angsuran tahunan mulai 1985.
d. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip non discriminative, baik terhadap negara kreditor, maupun terhadap sifat dan tujuan kredit.
Untuk melaksanakan Keputusan Presidium Kabinet No.15/U/KEP/8/ 1966 tentang Struktur Organisasi Departemen dengan Keputusan Menteri Keuangan No.57/MEN.KEU/1967 dilakukan penyempurnaan struktur organisasi Departemen Keuangan sebagai berikut :
a. Pembentukan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan yang merupakan pemecahan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami tugas nasiona dan departemental.
b. Penambahan direktorat-direktorat yang pada Direktorat Jenderal Anggaran (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pajak (dari 4 menjadi 5), Direktorat Jenderal Keuangan (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pengawasan Keuangan Negara (dari 3 menjadi 4).
c. Koordinasi langsung kantor-kantor daerah oleh Direktorat Jenderal yang bersangkutan.
Adapun unit eselon I yang ada pada Departemen Keuangan itu adalah terdiri dari Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Direktorat Jenderal Keuangan dan Inspektorat Jenderal.
Setelah memasuki Kabinet Pembangunan I, Kebijaksanaan Menteri Keuangan dalam bidang moneter, penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin diarahkan untuk meningkatkan tabungan pemerintah, serta memperbaiki neraca pembayaran. Pada masa Repelita I banyak dilaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang anggaran, perpajakan, penerimaan negara, ekspor dan devisa sehingga memberikan kemajuan perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti dengan turunnya tingkat inflasi dari 650% pada tahun 1966 menjadi 85 % pada tahun 1968.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas, serta dalam rangka meningkatkan ketertiban dan disiplin pegawai dalam melaksanakan tugasnya, pada tanggal 30 Maret 1971 dengan Surat Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1971 ditetapkan pemberian tunjangan khusus, ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif dan sekaligus sebagai imbangan atas tindakan yang akan diambil sehingga pegawai Departemen Keuangan dapat menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, berprestasi kerja semaksimal mungkin dan tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam bidang penerimaan dan pengeluaran negara. Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal 1 April 1971.
3. Tahap-tahap Pembangunan Nasional
Prioritas utama tahap pembangunan nasional adalah stabilitas politik. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pengalaman sejarah pada masa Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Karena itu dalam Kabinet Pembangunan Nasional I, mula-mula yang mereka lakukan adalah menghilangkan pertentangan

Letnan Jendral Soeharto
politik. Dualisme Kepemimpinan adalah bagian pertama yang harus segera diselesaikan. Dualisme Kepemimpinan ini berakhir pada tanggal 22 Februari 1967. Ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Letnan Jenderal Soeharto.
Namun secara resmi serah terima jabatan baru dilaksanakan setelah Sidang Umum MPRS yang berlangsung tanggal 7-12 Maret 1967.
Dalam Sidang Umum V MPRS tanggal 21-30 Maret 1968 Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden RI sampai terpilih kembali melalui Pemilihan Umum. Dengan terpilihnya Jenderal Soeharto ini kemudian dibentuk Kabinet Pembangunan.
Tugas utama Kabinet Pembangunan adalah:
1. Menciptakan Stabilitas Politik dan Ekonomi
2. Menyusun dan melaksanakan rencana Pembangunan Lima tahun Tahap pertama
3. Melaksanakan Pemilihan Umum
4. Mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI
5. Membersihkan aparatur negara di pusat dan di daerah dari pengaruh PKI.
Keberhasilan stabilitas politik ditunjukkan oleh hasil penentuan pendapat rakyat (pepera) di Irian Barat pada tahun 1969. Irian Barat memilih bersatu dengan Republik Indonesia. Di samping itu pemerintah juga berhasil mengembalikan stabilitas politik luar negeri antara lain dengan :
1. Berakhirnya Konfrontasi dengan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966.
2. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September1966.
3. Pembentukan ASEAN 8 Agustus 1967.
Dalam sektor ekonomi Kebijaksanaan Pemerintah diarahkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang ditunjang dengan tersedianya cadangan devisa yang cukup memadai. Di samping itu terjadinya keseimbangan moneter dan anggaran pendapatan belanja negara yang berimbang dan dinamis. Untuk mencapai hal ini, maka dikeluarkan paket kebijaksanaan 1 April 1976. Sasaran pokok kebijakan ini adalah mendorong ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai sumber pendapatan negara.
Untuk meningkatkan daya saing hail-hasil produksi dalam negeri, maka pada tanggal 15 November 1978 diambil kebijaksanaan yang menurunkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dengan 33,6% dari Rp 415,00 per US dolar menjadi Rp 615,00 per US dolar. Sedangkan untuk meningkatkan persediaan dalam negeri dilakukan peningkatan kesadaran pajak masyarakat, penyempurnaan efisiensi kerja setiap departemen.
Untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah ini dan untuk menyelesaikan perkembangan pelaksanaan tugas yang semakin kompleks,diperlukan susunan tata kerja Departemen Keuangan yang lebih sempurna. Sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 tahu 1974, Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan Nomor KEP-405/MK/6/4/1975 menetapkan pembentukan unit organisasi baru sebagai berikut :

a. Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK), yang dibentuk ntuk memenuhi kebutuhan
    pendidikan/latihan yang dirasa semakin meningkat bagi seluruh pegawai.
b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan (Puslitbang Keuangan), yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Keuangan.
c. Kantor Wilayah, yang merupakan perwakilan departemen di daerah.

Di samping itu, pada tahun 1976 kembali dilakukan perubahan-perubahan yaitu :
1. Dibentuknya Pusat Analisa Informasi Keuangan (PAIK), yang bertugas melakukan pembinaan dan
    pengembangan dalam pengolahan data.
2. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 52 tahun 1976, dibentuk Badan Pengawas Pasar Modal
   (BAPEPAM), yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, dan
   bertugas mengadakan penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan menjual saham-sahamnya
   melalui pasar modal, menyelenggarakan bursa pasar modal yang efektif dan efisien serta terus-menerus
   mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang menjual saham-sahamnya melalui pasar modal.
3. Terbitnya Instruksi Menteri tentang Pengalihan tugas Direktorat IPEDA dari Direktorat Jenderal Moneter
    ke Direktorat Jenderal Pajak.
4. Pembentukan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), serta beberapa penyempurnaan pada Direktorat
    Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan BPLK.
Pada Kabinet Pembangunan III, kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah adalah dilakukannya penyempurnaan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang telah dilaksanakan pada kabinet sebelumnya terutama untuk meningkatkan sumber-sumber dalam negeri guna meningkatkan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan yang semakin meningkat. Kejadian yang sangat mengganggu perekonomian bangsa Indonesia adalah turunnya harga minyak bumi secara tajam sehingga memaksa pemerintah untuk mendevaluasikan mata uang rupiah sebesar 27,8% dari Rp 700,00 per US dolar menjadi Rp 970,00 per US dolar pada bulan Maret 1983 guna mengamankan pembangunan neraca pembayaran. Oleh karena itu, Indonesia kemudian mulai mengandalkan penerimaan dalam negeri untuk menghimpun dana selain bantuan luar negeri. Dengan memfokuskan pada peningkatan penerimaan dalam negeri, hasilnya secara nyata terlihat dengan meningkatnya jumlah penerimaan dalam negeri yang terdiri dari pajak, bea masuk dan cukai, penerimaan minyak serta penerimaan bukan pajak yang meningkat 57 kali dibanding Repelita I.
Untuk lebih memantapkan pengawasan serta guna menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pemerintah dan pembangunan, Departemen Keuangan mengadakan perubahan organisasi dan membentuk unit-unit kerja baru sejalan dengan perluasan tugas pokok dan fungsinya.
Adapun unit-unit baru tersebut adalah :
a. Direktorat Jenderal Moneter, dikembangkan menjadi Direktorat Jenderal Moneter Dalam negeri dan
    Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri.

b. BPLK,terjadi perluasan dalam struktur organisasi BPLK. Pusdiklat Kebendaharaan Umum, berganti nama
   menjadi Pusdiklat Anggaran dan dibentuk Pusdiklat Keuangan Umum sebagai penyelenggara diklat bagi
   Setjen, Ditjen Moneter Dalam dan Luar Negeri, BUPN, BAPEPAM, BPLK, PAIK serta Perjan
   Pegadaian. Selain itu, Pusdiklat akuntansi menjadi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dan yang
   terakhir adalah dihapusnya Pusdiklat Pengawasan yang kemudian dibentuk Pusdiklat Pegawai.
c. BUPN, dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.01/1982 ditetapkan pembentukan, pengaturan mengenai nama, tempat kedudukan daerah wewenang cabang BUPN dan Kanwil BUPN.
d. Direktorat Jenderal Pajak, terjadi penyempurnaan organisasi dan Ditjen. Pajak yang meliputi peningkatan type kantor Inspeksi Ipeda dan pembentukan kantor dinas Ipeda Tk. I dan II.
e. Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN), pada tahun 1983 dilakukan pengalihan tugas dari DJPKN Departemen Keuangan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 14 tahun 1983.
Kebijaksanaan pembangunan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis mulai diterapkan pada Pelita IV. Kebijaksanaan ini bertujuan meningkatkan neraca pembayaran dengan mengambil langkah-langkah efisiensi dalam penggunaan devisa untuk impor, peningkatan penanaman modal luar negeri serta pemantapan nilai tukar riil rupiah terhadap valuta asing. Untuk mendukung semua ini dilakukan deregulasi dan debirokrasi.
Namun dalam mewujudkan langkah-langkah efisiensi dan penggunaan devisa untuk impor terjadi masalah, yaitu jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 dari sekitar US$ 25 per barel pada awal tahun menjadi di bawah US$ 10 per barel pada bulan Agustus. Dampak dari keadaan ini adalah pemerintah mendevaluasikan rupiah sebesar 31,0% dari Rp 1.134,00 per US dolar menjadi Rp 1.644,00 per US dolar.
Langkah lebih lanjut deregulasi dan debirokrasi perdagangan luar negeri adalah Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang kemudian disusul dengan paket kebijaksanaan 15 Januari 1987. Hasilnya ternyata cukup menggembirakan yakni dengan naiknya penerimaan dalam negeri dengan pertumbuhan rata-rata 21,6% pada Repelita IV.
Namun, upaya penyempurnaan organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan terus dilanjutkan. Adapun perubahan yang terjadi adalah :
1. Dengan Kepres No. 15 tahun 1984 dibentuk Pusat Pembukuan Keuangan Negara (PPKN) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri, dan sehari-hari pembinaannya dilakukan oleh Sekretaris Jenderal;
2. Dibentuk Pusat Penyusunan dan Analisa APBN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1985;
3. Dibentuk Pusat Pengelolaan dan Pembebasan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1986;


4. Dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1987 dilakukan perubahan struktur organisasi Departemen Keuangan yakni, Ditjen Moneter Luar Negeri dan Ditjen Moneter Dalam Negeri digabung kembali menjadi Ditjen Moneter dan sebagian direktorat dan tugas Ditjen Moneter Luar Negeri dilimpahkan kepada Ditjen Anggaran dan Setjen;
5. Terjadi perubahan struktural pada tingkat eselon II dalam Ditjen Anggaran dengan masuknya Direktorat Dana Luar Negeri sebagai akibat peleburan Ditjen Moneter dan peleburan Direktorat Kas Negara dengan Direktorat Perbendaharaan Negara menjadi Direktorat Perbendaharaan dan Kas Negara;
6. Dibentuknya Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan, dan Neraca Pembayaran pada tahun 1988, yang kemudian disebut Badan Analisa Keuangan Negara;
7. Dibentuk Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (BAPELTA) yang sekarang disebut BAPEKSTA berdasarkan Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1988. Badan ini merupakan gabungan antara PAIKdan P4BM.
Dalam Kabinet Pembangunan V, prioritas utama ditujukan pada pembangunan prasarana, peningkatan kualitas sumber daya manusia, operasi pengendalian pengentasan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini, Departemen Keuangan mendapat tugas utama, yakni menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan migas maupun non migas. Hasilnya diharapkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja.
Untuk itu maka upaya peningkatan penerimaan bukan pajak makin digalakkan, baik melalui peningkatan efisiensi usaha dan penyempurnaan administrasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun melalui penertiban dan intensifikasi penerimaan rutin departemen/lembaga. Hasilnya, dalam tiga tahun pertama penerimaan PPN menunjukkan hasil yang cukup mengesankan. Hal ini dikarenakan adanya penyederhanaan yang telah dilakukan dalam sistem perpajakan dan perluasan dasar pengenaan pajak.
Dalam bidang moneter, serangkaian kebijaksanaan penting diambil sejak awal Repelita V adalah menyempurnakan sistem perkreditan nasional. Sistem ini menggalang kredit bagi usaha kecil. Dalam paket ini fungsi perbankan dan lembaga keuangan sebagai pengelola. Langkah-langkah yang diambil berkaitan dengan paket ini antara lain : mengurangi secara bertahap peranan kredit likuiditas untuk berbagai program dan kegiatan, menyederhanakan struktur suku bunga, dan menyempurnakan program perkreditan ke arah terjaminnya penyediaan dana usaha kecil dan kegiatan produktif koperasi, diikuti dengan paket kebijaksanaan 29 Januari 1990 (Pakjan) disusul oleh Paket Februari 1991 (Paktri) dan Paket Juni 1991.
Kemajuan yang pesat di bidang penerimaan dalam negeri, penerimaan pembangunan, pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, serta perkembangan moneter yang meliputi perkembangan jumlah uang beredar, penghimpunan dana, perkreditan, lembaga keuangan, dan ekspor diharapkan dapat memperkuat landasan ekonomi menyongsong pembangunan jangka panjang II.
Dalam menyesuaikan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan, Departemen Keuangan mengadakan penyempurnaan di bidang organisasi dan tata kerja. Tujuannya adalah agar dapat lebih berdayaguna dalam pelaksanaan organisasi tata kerja. Penyempurnaan ini

berupa penggabungan Kantor Kas Negara (KKN) dengan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), pembentukan Direktorat PAK, pelimpahan sebagian tugas dan pegawai Ditjen Anggaran kepada PT. TASPEN, dan relokasi pegawai DJA ke Ditjen Pajak.
Dalam rangka menghadapi perdagangan internasional peningkatan kesejahteraan suatu bangsa sangat penting, karena ekonomi menjadi lebih terbuka dan Free trade area semakin menjadi kebutuhan. Fakta yang menunjukkan kondisi seperti ini adalah dengan munculnya GATT, AFTA, NAFTA, maupun WTO serta mulai dicanangkannya kesatuan mata uang Eropa.
Melihat keadaan yang seperti ini, diperlukan tingkat kompetitif yang tinggi pada masing-masing negara baik itu berupa keunggulan kompetitif maupun keunggulan komperatif, jika suatu negara ingin tetap exist dalam perdagangan internasionalnya.
Adanya globalisasi menjadikan negara-negara yang memiliki keunggulan teknologi semakin dominan khususnya dalam bidang ekonomi. Era globalisasi ini akan memaksa setiap bangsa dan negara untuk tidak hanya bertumpu pada industri primer atau industri sekunder, tetapi sekaligus pada industri primer, sekunder dan tersier agar dapat mempertahankan keunggulan komparatif dan mengoptimalkan nilai tambah yang diperoleh.
Adanya integrasi ekonomi regional seperti AFTA, NAFTA, APEC dan sebagainya, cenderung akan memperketat persaingan global dan memperkuat resiprositas dalam perdagangan internasional. Lebih-lebih integrasi regional yang beranggotakan negara-negara maju yang meliputi peraturan serta kebijaksanaan tarif dan non tarif serta insentif ekspor, akan semakin merugikan negara-negara yang tertinggal di bidang tekhnologi. Dalamhal ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan dan mengurangi dampak perdagangan yang merugikan dengan negara-negara yang lebih maju serta mencegah adanya penetrasi yang lebih dalam perusahaan-perusahaan multinasional ke dalam sektor industri nasional.
Dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, kehadiran BUMN akan sangat diperlukan sebagai balancing agents dalam menghadapi perusahaan-perusahaan multinasional swasta yang mampu menggunakan kekuatan ekonomis mereka untuk membelokkan kebijaksanaan pemerintah ke arah yang menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan dan merugikan kepentingan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar